Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Oktober 2009

BUNUH DIRI PADA REMAJA

BAB I

PENDAHULUAN

PENGANTAR MASA REMAJA

Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial.

Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.

Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan aliran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.

Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun

b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun

c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis

2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif

4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi

6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga

8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara

9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial

10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku (Havighurst dalam Hurlock, 1973).

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:

1. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.

2. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.

Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka.

Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi dimensi tersebut.

  1. DIMENSI BIOLOGIS. Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar.
  2. DIMENSI KOGNITIF. Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.
  3. DIMENSI MORAL. Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanyamengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalahmasalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya.
  4. DIMENSI PSIKOLOGIS. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.

Dari penjelasan di atas, kita sudah mengetahui masalah-masalah remaja yang sering kita temui pada remaja,tapi dalam pembahasan di dalam makalah ini adalah depresi, dimana depresi ini sangat mempengaruhi semua aspek perkembangan pada remaja. Dan oleh karena itu dalam bab selanjutnya akan membahas depresi dan pengaruhnya terhadap perkembangan mental remaja dan dampaknya sehingga remaja memilih untuk bunuh diri sebagai solusi.

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

Dalam kehidupan remaja banyak sekali permasalahan yang dapat kita temui pada remaja, seperti penggunaan dan penyalahgunaan obat terlarang, kenakalan remaja, depresi, bunuh diri, dan lain-lain.

Di makalah ini akan membahas depresi pada remaja yang mengakibatkan dia memilih untuk bunuh diri, berikut penjelasannya.

I. PENGERTIAN DEPRESI

Depresi adalah suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apati, pesimisme, dan kesepian. Keadaan ini sering disebutkan dengan istilah kesedihan (sadness), murung (blue), dan kesengsaraan. Pada orang normal merupakan ganguan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang, pada kasus patlogis, merupaan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu, dan putus asa.

Depresi adalah gangguan yang memiliki karakteristik:

a. Gejala Utama

Ø Afek depresif

Ø Kehilangan minat dan kegembiraan

Ø Berkurangnya energi yang menuju pada meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.

b. Gejala lainnya

Ø Konsentrasi dan perhatian berkurang

Ø Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

Ø Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

Ø Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

Ø Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

Ø Tidur terganggu

Ø Nafsu makan berkurang

Depresi menurut DSM IV dapat 3 kategori, yaitu:

1. Gangguan depresi berat (Mayor diklasifikasikan dalam depressive disorder). Mensyaratkan kehadiran 5 atau lebih simptom depresi menurut kriteria DSM-IV selama 2 minggu. Kriteria terebut adalah:

a. Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek ataupun observasi orang lain. Pada anak-anak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya.

b. Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari.

c. Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada kenaikan berat badan yang drastis.

d. Insomnia atau hipersomnia berkelanjutan.

e. Agitasi atau retadasi psikomotorik.

f. Letih atau kehilangan energi.

g. Perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif.

h. Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun.

i. Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali.

j. Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis.

k. Tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.

2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder) Suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis. Kriteria DSM-IV untuk gangguan distimik:

a. Perasaan depresi seama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1 tahun pada anak-anak dan remaja)

b. Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa.

c. Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama 2 bulan.

d. Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak ditemukan.

e. Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat atau medis.

f. Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.

3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic disorder). Kriteria menurut DSM-IV:

a. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau lebih.

b. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania.

c. Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran.

d. Gejala-gejala suasan perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia.

e. Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum.

f. Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.

II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEPRESI

Secara umum orang mengalami depresi karena salah satu kejadian atau situasi sebagai berikut:

1. Kesan pada tubuh dan gangguan makanan

2. Perselisihan dan inkonsistensi

3. Disiplin keluarga yang tidak sesuai

4. Norma dari kelompok-kelompok dan geng-geng teman sebaya

5. kehilangan orang yang dicintai, mungkin karena kematian

6. peristiwa traumatis atu stressfull, misalnya mengalami kekerasan, deprifasi sosial yang kronik atau penolakan sosial.

7. Penyakit fisik yang kronis

8. Obat- obatan atau narkoba

9. Adanya penyakit mental lain

10. Seseorang yang mempunyai orang tua atau saudara kandung yang mengalami depresi akan mengalami peningkatan resiko mengalami depresi juga.

Faktor- faktor lain yang dapat menyebabkan depresi antara lain adalah:

  1. Faktor genetik. Meskipun penyebab depresif secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orang tuanya menderita depresi, maka anaknya beresiko dua kali lipat akan menderita depresi juga. Apabila kedua orang tuanya menderita depresi, maka resiko untuk mendapatkan gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi 4 kali lipat.
  2. Faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti kehilangan sesuatu, stress, mungkin bisa jadi variabel penyebab yang terpenting. Karena depresi dapat timbul pada keluarga, anak-anak yang depresi lebih sering ditemukan pada keluarga atau orang tua yang mengalami depresi (lebih sering pada ibu). Interaksi ibu-ibu yang depresi pada anak-anaknya bisa berakibat negatif. Depresi juga bisa muncul karena salah asuh di rumah. Anak yang mendapat perlakukan tidak mengenakan dari orangtua cendrung mudah marah dan tidak puas. Tapi anak tidak tahu cara pelampiasannya sehingga mereka melampiaskan ke dirinya sendiri.

III. MENANGANI DEPRESI PADA REMAJA

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah dan mengurangi depresi pada remaja, antara lain:

  • Peran orang tua, dimana orang tua harus:
    1. menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
    2. membekali anak dengan dasar moral dan agama
    3. menjalin kerjasama yang baik dengan guru.
  • Peran guru

1. bersahabat dengan siswa

2. menciptakan kondisi sekolah yang nyaman

3. meningkatkan kerja sama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain

4. memberikan keteladanan

5. menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menampung agresifitas anak melalui olah raga dan bermain.

  • Peran media

1. sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan ( jam tayang sesuai usia)

2. sampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif)

IV. BUNUH DIRI

Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan sesuatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak integrasi diri atau mengakhiri kehidupan, di mana keadaan ini didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian (Hoeksema, 2001).

Wilkinson (1989) membedakan antara bunuh diri dengan usaha bunuh diri. Wilkinson, menyebutkan jika bunuh diri merupakan tindakan merusak diri yang disengaja oleh seseorang yang menyadari apa yang dilakukannya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Sementara usaha bunuh diri merupakan tindakan yang tidak fatal, paling sering melibatkan masalah dosis obat berlebihan (terutama obat pengubah suasana hati) tetapi dapat juga melibatkan berbagai jenis melukai diri sendiri.

Shneidman (dalam Barlow dan Durand, 2002) membedakan bunuh diri berdasarkan individunya ke dalam empat tipe. Berikut empat tipe bunuh diri menurut Shneidman :

  1. Pencari Kematian (Death Seekers). Individu-individu yang termasuk dalam tipe ini adalah individu yang secara jelas dan tegas mencari dan menginginkan untuk mengakhiri kehidupannya. Kesungguhan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri, sudah hadir dalam jangka waktu yang lama, mereka telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kematian mereka. Mereka telah memberikan barang-barang milik mereka kepada orang lain, menuliskan keinginan mereka, membeli sepucuk pistol, lalu segera bunuh diri. Selanjutnya, kesungguhan mereka akan berkurang, dan jika mereka gagal melakukan bunuh diri, mereka kemudian menjadi ragu atau kebingungan (ambivalent) dalam memutuskan untuk mati.
  2. Inisiator Kematian (Death Initiators). Inisiator-inisiator mati juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, tetapi mereka percaya jika kematian mau tidak mau akan segera mereka rasakan. Individu yang menderita penyakit serius tergolong ke dalam tipe ini. Sebagai contoh, beberapa penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebelum mereka mendapatkan perawatan, baik itu perawatan medis atau bukan, terlebih dahulu memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan bahwa mati lebih baik dari pada harus menghadapi penyakit mereka yang mau tidak mau akan bertambah parah dan kemungkinan berubah menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
  3. Pengabai Kematian (Death Ignorers). Bersungguh-sungguh untuk mengakhiri kehidupannya, tapi mereka tidak percaya jika keinginan tersebut merupakan akhir dari keberadaan (existence) dirinya. Mereka meyakini bahwa mati merupakan awal dari kehidupan mereka yang baru dan lebih baik. Kelompok-kelompok keagamaan tertentu termasuk ke dalam kategori ini. Sebagai contoh, pada tahun 1997, 39 orang anggota Heaven’s Gate cult melakukan bunuh diri massal.
  4. Penantang Kematian (Death Darers). Ragu-ragu (Ambivalent) dalam memandang kematian, dan mereka bertindak jika kesempatan untuk mati bertambah besar. Tetapi hal tersebut, bukanlah suatu jaminan jika mereka akan mati. Orang-orang yang menelan segenggam obat atau pil tanpa mengetahui seberapa berbahaya obat atau pil tersebut, kemudian memanggil seorang teman, tergolong ke dalam tipe ini. Anak-anak muda yang secara acak memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol, kemudian mengarahkan ke kepala mereka juga termasuk ke dalam tipe ini. Orang-orang yang termasuk Death Darers, adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian atau membuat seseorang atau orang lain merasa bersalah. Dan hal tersebut, melebihi keinginan mereka untuk mati.

Menurut Durkheim (dalam Lyttle, 1986 & Nevid., dkk., 1997) yang konsern mengkaji bunuh diri dengan menggunakan perspektif sosiologi, menyebutkan jika bunuh diri terdiri atas beberapa prinsip tipe. Beberapa prinsip tipe tersebut adalah :

  1. Anomic Suicide. Kondisi ketidaknormalan individu berada pada posisi yang sangat rendah, individu adalah orang yang terkatung-katung secara sosial. Anomic suicide adalah hasil dari adanya gangguan yang nyata. Sebagai contoh, seseorang yang tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya yang berharga kemudian melakukan tindakan bunuh diri termasuk ke dalam tipe ini. Anomie disebut juga kehilangan perasaan dan menjadi kebingungan.
  2. Egoistic Suicide. Kekurangan keterikatan dengan komunitas sosial atau masyarakat, atau dengan kata lain individu kehilangan dukungan dari lingkungan sosialnya atau masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang yang sudah lanjut usia (elderly) yang membunuh diri mereka sendiri setelah kehilangan kontak atau sentuhan dari teman atau keluarganya bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.
  3. Altruistic Suicide. Pengorbanan diri (self-sacrifice) sebagai bentuk peran serta sosial dan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, sebagai contoh kamikaze atau seppuku di jepang. Tipe ini disebut juga “formalized suicide”
  4. Fatalistic Suicide. Merupakan bunuh diri sebagai akibat hilangnya kendali diri dan merasa jika bisa menentukan takdir diri sendiri dan orang lain. Bunuh diri massal yang dilakukan oleh 39 orang anggota Heaven’s Gate cult adalah contoh dari tipe ini. Kehidupan 39 orang ini berada di tangan pemimpinnya.

Penyebab terjadinya bunuh diri sangat beragam dan sebagian besar perilaku tersebut dilatar belakangi ketidakmampuan ekonomi, namun faktor pencetusnya atau pemicunya bisa masalah keluarga, sakit, atau masalah dengan pasangan.

V. STUDI KASUS

Berikut contoh studi kasus mengenai depresi yang pada akhirnya memilih bunuh diri sebagai solusi.

DEPRESI KARENA TIDAK MASUK PTN, SEORANG PEMUDA BAKAR DIRI

/

Kamis, 2 Juli 2009 | 10:39 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Ratih P Sudarsono

BOGOR, KOMPAS.com

Depresi karena tidak masuk perguruan tinggi negeri atau disingkat dengan PTN, Abdul Majid (18) tewas membakar diri di kamar tidur di rumah adiknya di Perumnas II Parung Panjang, Bogor, Rabu (1/7) sekitar pukul 13.30.

”Pihak keluarga tidak mengizinkan jasadnya diotopsi. Mereka menyatakan ikhlas karena korban memang menderita depresi dan berkali-kali mencoba bunuh diri,” kata Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Parung Panjang Iptu Ida Bagus Kade Dayana.

Menurut Ida Bagus, tetangga korban, Hasanuddin, yang pertama kali melihat rumah Ida (25) terbakar. Hasanuddin tahu setelah api yang membakar rumah Ida mulai menyambar rumahnya. Ida, adik Abdul Majid, saat itu tidak ada di rumah karena sedang ikut pengajian..

Warga lalu beramai-ramai memadamkan api. Setelah api padam, baru mereka menemukan jasad Abdul Majid di dalam kamar tidur yang sudah terbakar. ”Kebakaran diduga berasal dari kamar itu, setelah korban membakar dirinya dengan menggunakan bensin,” kata Ida Bagus. Keluarga korban lalu membawa pulang jasad Abdul Majid ke rumah orangtuanya di Puri Kembangan, Jakarta Barat.

VI. PEMBAHASAN STUDI KASUS

Ketika berbicara kesuksesan dan atau kegagalan dalam hidup maka berjalan bagai roda pedati yang bergantian menghinggapi manusia. Apalagi jika menengok pada ayat Allah dalam Alquran “bahwa bersama kesulitan itu, ada kemudahan” sehingga jika orang meyakini kebenaran ayat ini akan menghadapi kegagalan tanpa keraguan. Dalam kasus diatas, kita dapat membahasnya berdasarkan Teori Kognitf – Behavior dan berdasarkan Dimensi Psikologi. Berikut penjelasannya:

Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap memberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh diri. Konsistensi prediksi yang tinggi dari variabel kognitif terhadap bunuh diri adalah kehilangan harapan (hopelessness), perasaan jika masa depan sangatlah suram dan tidak ada jalan untuk menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik atau positif (Beck, dkk., dalam Hoeksema, 2001). Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking), kekakuan dan ketidak luwesan dalam berpikir menjadi penyebab seseorang bunuh diri. Kekakuan dan ketidak luwesan tersebut menjadikan seseorang kesulitan dalam menemukan alternatif penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang dirasakan oleh orang tersebut menghilang. Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab seseorang melakukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini (impulsif), akan semakin berisiko jika terkombinasikan dengan gangguan psikologis yang lain, seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan potensi untuk menghasilkan stres yang tinggi (Hoeksema, 2001). Dalam hal ini perlu juga yang namanya kecerdasan emosi dalam menghadapi kegagalan. Kecerdasan intelektual yang dimiliki boleh jadi membuat kecerdasan emosinya terhambat. Sebab sibuk dengan dirinya sendiri dan merasa lebih bisa menyelesaikan problemnya tanpa harus melibatkan banyak orang. Adapun kecerdasan emosi merupakan kebutuhan vital manusia sebab kerabat kuat dalam otak. Dalam hal pekerjaan, Golman dan Cardver menyatakan bahwa kecerdasan emosi memiliki kontribusi 27-51 persen untuk keberhasilan pekerjaan seseorang. Dan ini yang membedakan dengan IQ yang berkontribsi 20 persen saja. Penyebab bunuh diri seperti kasus di atas menurut Hendlin adalah:

    • Self-ideal terlalu tinggi
    • Cemas akan tugas akademik yang banyak
    • Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
    • Kompetisi untuk sukses

Dalam antisipasi kegagalan dibutuhkan soliditas keluarga (ayah, ibu, saudara kandung) ketika terjadi kegagalan. Dalam arti bahwa setiap persoalan hendaknya dibicarakan dalam keluarga, baik itu besar ataupun kecil. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian untuk menciptakan lingkungan yang terbuka serta tidak menutup pula berkomunikasi kepada teman atau oaring yang dapat dipercaya dapat membantu menyelesaikan masalah.

Dimensi Psikologis Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.

BAB III

KESIMPULAN

Depresi dan kehilangan harapan, terlebih lagi jika keduanya terkombinasikan dengan self-esteem yang rendah, adalah faktor risiko dalam melakukan bunuh diri yang paling utama pada remaja dan juga pada orang dewasa. Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison (dalam Hoeksema, 2001) mengatakan jika setengah dari individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan psikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan narkoba (Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri. Untuk mengurangi resiko bunuh diri pada remaja ini sangat perlu diperhatikan, dimana perhatian dari orangtua terhadap permasalahan anak harus lebih diperhatikan. Peran guru juga sangat penting dalam mengurangi dampak ini. Dimana guru harus menciptalan suasana belajar yang nyaman bagi sisiwa dan memberikan kehangatan bagi siswa. Anak juga harus dikontrol hubungannya terhadap media, dimana dalam media sungguh banyak sekali informasi-informasi baik yang positif maupun negatif. Oleh karena itu, dibutuhkan keberanian untuk menciptakan lingkungan yang terbuka. Serta tidak menutup pula berkomunikasi kepada teman atau orang yang dipercaya dapat membantu menyelesaikan masalah. Dengan adanya perhatian-perhatian seperti itu, remaja akan dapat mengurangi masalah-masalahnya yang dapat menimbulkan depresi dan nanti mengakibatkan keperilaku bunuh diri dan yang pasti itu tidak kita inginkan. ”Semoga”.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.

Atkinson (1999). Pengantar Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mappiare, A. (1992). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Kartono, K. (1981). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition. Washington, DC, Amerika Psychiatric Association, 1994.

PERKEMBANGAN MENTAL REMAJA YANG TINGGAL DENGAN SINGLE PARENT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Pengantar

Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent. Berdasarkan data tersebut dapat diberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent.

Menurut Deacon dan Firebough (1988) ada beberapa faktor yang mempengaruhi status single parent. Faktor-faktor tersebut antara lain: kehamilan sebelum menikah, kematian suami atau istri, perpisahan atau perceraian dan adopsi. Data di Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dalam kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta yang terjadi di Inggris tersebut akan menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini dikarenakan, di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, seseorang yang berstatus sebagai single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk anak yang berkualitas. Bukan hal yang mudah menjalankan dua peran tersebut sekaligus dalam membentuk anak yang berkualitas. Oleh sebab itu dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi keluarga single parent pun sama berkualitasnya dengan anak yang dibasarkan pada keluarga utuh.

Ada kemungkinan akan terjadi gangguan atau kelainan perkembangan mental pada remaja yang tinggal dengan single parent. Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai hal ini dan segala pengertian remaja serta single parent.

I.2. Masa Remaja

Masa remaja merupakan suatu masa yang sangat menentukan karena pada masa ini seseorang banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Terjadinya banyak perubahan-perubahan tersebut sering menimbulkan kebingungan-kebingungan atau goncangan-goncangan jiwa remaja sehingga ada orang yang menyebutnya sebagai periode pubertas.

Mereka bingung karena pikiran dan emosinya berjuang untuk menemukan diri, memahami dan menyeleksi serta melaksanakan nilai-nilai yang ditemui di masyarakanya, disamping perasaan ingin bebas dari segala ikatan. Tepatlah jika sebagian ahli menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan.

Di lain pihak Hurlock menyebutnya dengan dua istilah terpisah tapi berdekatan, yaitu puberty dan adolescence.Menurutnya : puberty is the period in the developmental span when the child changes from an asexual to a sexual being (Hurlock, 1980: 179)”. Sedangkan adolescence adalah The term adolescence comes from the Latin word “adolescence”, meaning “to grow, or to grow maturity. …. As it is used today, the term “adolescence” has a broader meaning it includes mental, emotional, and social maturity as well as physical maturity. (Hurlock,1980: 222)

Memang masa remaja tidak seluruhnya berada dalam kegoncangan, tapi pada bagian akhir dari masa ini kebanyakan individu sudah berada dalam kondisi yang stabil (apa yang disebut Hurlock dengan adolescence).

Ciri pertama bahwa seseorang itu memasuki masa remaja adalah terjadinya menstruasi pertama pada perempuan dan mimpi basah pertama kalinya pada laki-laki.

I.2.1. Pembagian Fase Remaja

Secara teoritis rentangan usia remaja itu dibagi dalam beberapa fase. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat, diakarenakan sulitnya membagi batas yang pasti. Akibatnya tidak jarang terjadi adanya batas usia yang saling tumpang tindih antara satu fase dengan fase lainnya. Walaupun demikian, pembagian itu tetap perlu karena dari keseluruhan masa remaja kenyataannya terdapat perbedaan-perbedaan tingkah laku akibat berbedanya usia mereka.

Hurlock membagi masa remaja menjadi dua fase, dan masing-masing fase dibaginya ke dalam sub-sub, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Puberty; yang terbagi lagi kepada:

a. Fase prebubescent: sejak tahun terakhir anak – anak.

b. Fase pubescent: pemisahan antara anak dengan adolescence (kematangan seksual).

c. Fase post-pubescent: sejak akhir pubescent s/d 1 – 2 tahun masuk ke dalam fase adolescence.

2. Adolescence; dibagi dua menjadi:

a. Early adolescence: dari usia 13 – 16 atau 17 tahun.

b. Late adolescence: 17 tahun ke atas sampai tercapainya kematangan secara hukum.

Kemudian Hurlock membagi fase-fase perkembangan remaja menjadi tiga fase yaitu : “remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir”.

I.2.2. Beberapa Perkembangan dalam Masa Remaja

1. Fase Pra-Remaja

a. Perkembangan segi fisik/seksualitas :

o Pertumbuhan badan sangat cepat. Wanita tampak lebih cepat dari laki-laki sehingga dapat menyebabkan seks antagonism.

o Pertumbuhan anggota badan dan otot-otot sering berjalan tak seimbang sehingga menimbulkan kecanggungan.

o Seks primer dan skunder mulai berfungsi dan produktif, ditandai dengan mimpi basah pertama pada laki-laki dan menstruasi pertama pada wanita.

b. Perkembangan segi psikis

Keadaan psikis pra-remaja umunya berada pada sifatnya yang negative atau sturm und drang. Sifat itu adalah :

o Perasaan tak tenang

o Kurang suka bergerak atau bekerja (malas)

o Suasana hati tidak tetap atau murung

o Cepat lelah dalam bekerja

o Kebutuhan untuk tidur sangat besar

o Mempunyai sifat social yang negative

2. Fase Remaja

a. Perkembangan fisik/seksualitas :

o Bentuk badan lebih banyak memanjang daripada melebar, terutama bagian badan, kaki dan tangan.

o Akibat berproduksinya kelenjar hormone, maka jerawat sering timbul di bagian muka.

o Timbulnya dorongan-dorongan seksual terhadap lawan jenis, akibat matangnya kelenjar seks (gonad).

b. Perkembangan psikis :

o Merindu puja

o Tingkat berpikir berada dalam stadium operasional formal (verbal, logic)

o Mempunyai sikap social yang positif, suka bergaul dan membentuk kelompok-kelompok seusia

o Mencari kebebasan dan berusaha menemukan konsep diri (self-concept)

o Terjadinya proses seleksi nilai-nilai moral dan social

o Sikap terhadap agama turut-turutan, dan kepercayaan terhadap Tuhan selalu berubah-ubah akibat kegoncangan jiwanya.

3. Fase Adolescence (akhir masa remaja)

a. Perkembangan fisik:

o Pertumbuhan badan merupakan batas optimal, kecuali pertambahan berat badan.

o Keadaan badan dan anggota-anggotanya menjadi berimbang, muka berubah menjadi simetris sebagaimana layaknya orang dewasa.

b. Perkembangan psikis:

o Kemampuan berfikir operasional formal tampaknya mencapai kematangan, sehingga mampu menyusun rencana-rencana, menyusun alternative dan menentukan pilihan dalam hidup dan kehidupannya.

o Sikap dan perasaan relative stabil, inilah yang paling mencolok perbedaannya dengan fase praremaja/remaja.

o Kalau dilihat dari segi perkembangan pribadi, social dan moral, maka fase adolescence berada dalam periode krisis. Karena mereka berada di ambang pintu kedewasaan. Kematangan konsep diri, penerimaan dan penghargaan social oleh orang dewasa sekitarnya serta keharusan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada pada kelompok orang dewasa menjadi tanda Tanya besar bagi mereka, apakah dia sudah mampu menjadi orang dewasa dengan segala tugas dan tanggung jawabnya.

c. Perkembangan Pemahaman tentang Agama

Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah kerangkan moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Manajemen Keluarga pada Keluarga Berstatus Single Parent

Orang tua sebagai single parent harus menjalankan peran ganda untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Sebagai single parent, harus mampu mengkombinasikan dengan baik antara pekerjaan domestik dan publik. Dalam hal ini, kematangan fisik dan psikologis merupakan faktor yang sangat vital dibutuhkan untuk melakukan manajemen keluarga.

Seseorang yang berstatus single parent dimana ia harus mencari uang untuk menafkahi keluarganya dan juga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang keluarganya harus melakukan perencanaan yang matang dalam pengorganisasian kegiatanya menjalankan peran ganda. Dalam melakukan perencanaan tersebut, ia harus mengkomunikasikan rencana yang telah ia buat pada keluarga terdekatnya (orang tua, paman atau bibi), terutama yang akan dimintai bantuan nantinya.

Setelah dilakukan perencanaan, maka ia harus melaksanakan rencana yang telah ia buat. Apabila diperlukan, maka ia bisa juga meminta bantuan pada keluarga terdekatnya untuk membantu kegiatan keluarganya selama ia diluar rumah untuk mencari nafkah, tentunya ia harus mengkomunikasikan hal ini sebelumnya dengan orang yang bersangkutan.

Hal terakhir yang harus dilakukan dalam memanajemen keluarga yang berstatus single parent adalah dengan mengevaluasi semua kegiatan yang telah berlangsung di keluarga. Evaluasi diperlukan untuk meninjau apakah kegiatan keluarga yang telah berlangsung, terutama yang dihandle oleh anggota keluarga yang lain sesuai dengan harapannya atau tidak. Disamping itu, evaluasi juga dibutuhkan membenahi perencanaan keluarga selanjutnya.

II.2. Kematangan sebagai Single Parent

Seperti yang telah disebutkan pada sebelumnya bahwa keluarga yang berstatus single parent disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang ada itu mempengaruhi kematangan sebagai seorang single parent. Kematangan dalam segi fisik dan terutama psikologis menjadi faktor yang utama yang dibutuhkan untuk keberhasilan sebagai single parent dalam membesarkan anaknya. Wanita sebagai single parent yang sangat riskan dalam membesarkan anaknya adalah disebabkan oleh kehamilan sebelum menikah, karena sebagian besar kehamilan sebelum menikah terjadi pada remaja. Remaja belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjadi single parent. Pada kasus ini dibutuhkan dukungan yang lebih besar dari keluarganya untuk menyiapkannya menjadi seorang single parent. Pada kasus lain yang menyebabkan wanita menjadi single parent (perpisahan atau perceraian, kematian suami atau istri, dan adopsi), dirasa tidak terlalu bermasalah pada kematangan wanita tersebut (terutama alasan adopsi karena ada keinginan internal dari wanita untuk memiliki dan membesarkan anak, artinya ia telah benar-benar siap dengan segala konsekuensi sebagai single parent) karena pada kondisi itu wanita dinggap telah dewasa dan telah mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tetap membutuhkan jangka waktu tertentu untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru.

Kematangan seseorang yang berstatus sebagai single parent merupakan hal yang utama dibutuhkan dalam mebesarkan serta mendidik anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan, kematangan pada seseorang sebagai single parent dapat mempengaruhi caranya dalam memanajemen diri dan keluarganya, terutama dalam membentuk anak yang berkualitas.

II.3. Manajemen Seseorang sebagai Single Parent dalam Membentuk Anak yang Berkualitas

Membentuk anak yang berkualitas merupakan tugas dari semua orang tua, begitu pula dengan single parent. Akan tetapi, ada beberapa hal khusus yang harus dilakukan oleh single parent agar anaknya berkembang sama seperti anak-anak pada keluarga lengkap. Hal tersebut antara lain sebagai berikut:

- Pengganti Figur Orang Tua yang Hilang

Sebagai single parent harus mampu menjadi ibu bagi anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan anaknya akan figure seorang ayah. Menjalankan dua peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Senada dengan yang diungkapkan oleh Elly Risman, Psi “Sudah suratan takdir laki-laki tak akan dapat menjadi ibu seutuhnya, begitu juga ibu tak dapat sepenuhnya mengisi peran ayah”. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa dalam kasus single parent, wajib hukumnya bagi ayah atau ibu yang menjadi orang tua tunggal untuk tetap menghadirkan sosok ayah atau ibu yang tidak ada selama membesarkan anak-anaknya. Mengenai siapa yang dapat dihadirkan sebagai pengganti salah satu orang tua yang tidak ada, menurut Elly, dapat merupakan keluarga terdekat, seperti paman-bibi, kakek-nenek. Pokoknya kerabat sedarah yang tidak mengizinkan adanya pertalian nikah. Tak mesti sosok pengganti salah satu orang tua ini berada bersama anak setiap saat. “Cukup selama dua tiga hari atau saat melakukan kegiatan tertentu, seperti belanja ke pasar atau mal bersama nenek dan bibi, sedangkan pergi ke bengkel atau berolahraga dengan paman.” Dengan demikian apa yang tidak didapatkan anak dari salah satu orang tua tetap dapat terpenuhi. “Oh, kita harus bersikap begini rupanya kalau jadi laki-laki,” atau, “Seperti ini rupanya dunia perempuan.”

- Alokasi Waktu yang Efektif

Menjadi single parent sebetulnya mempunyai sisi baik dari segi keleluasaan waktu yang dimiliki. Ibu/Ayah, hanya berperan membesarkan anak, tidak ada Suami/Istri yang harus dilayani dan dimanja-manja. Dengan demikian seorang single parent memiliki kelebihan waktu.

Sebagai single parent yang menjalankan peran pribadi dan publiknya secara bersamaan harus memiliki manajemen waktu yang efektif. Apabila ia berada di tempat kerja, maka ia harus mengkonsentrasikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, dan sebaliknya, apabila ia telah berada di rumah, maka ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya terutama pada anak-anaknya. Ia harus menemani anaknya makan, belajar, ataupun membacakan dongeng sebelum tidur.

- Komunikasi dengan Anak Harus Selalu Dijaga

Manusia sanggup mencintai dan dicintai, ini adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, dan penerimaan orang lain amat dibutuhkan manusia. Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku anak yang kurang baik. Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Maka orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian. Orang tua mendengarkan cerita anak, dan sebaliknya orang tua juga menceritakan apa yang sedang dia alami. Jadikan anak sebagai sahabat, agar masing-masing pihak saling mengerti dan memahami situasi yang dialami.

- Menerapkan Disiplin

Penerapan disiplin pada keluarga single parent menjadi lebih mudah dilaksanakan karena hanya ada satu sumber komando dari Ibu atau Ayah saja. Pada kasus wanita sebagai single parent, anak akan mendapatkan disiplin dari ibunya saja. Akan lebih mudah untuk mengerti disiplin yang ditetapkan di keluarganya. Yang perlu diperhatikan adalah, ibu harus menerapkan disiplin yang ada dengan tegas sekaligus penuh kasih sayang. Selain itu, ibu perlu mengkomunikasikan disiplin yang berlaku pada anggota keluarga lain yang membantunya menggantikan figur seorang ayah bagi anaknya.

- Menjaga Hubungan Interpersonal dengan Anak

Dalam keluarga single parent, hubungan interpersonal antara orang tua dengan anak sangatlah penting untuk dijaga. Menjaga hubungan interpersonal dengan anak dapat dilakukan dengan menjaga komunikasi serta meluangkan waktu khusus bersama anak. Hubungan antara anak dengan orang tua menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan anak berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas Oleh karena itu, hubungan yang terjalin dengan baik antara orang tua dengan anak menentukan keberhasilan anak dalam menjalin hubungan secara interpersonal dengan orang lain.

- Persepsi Positif Terhadap Anak

Kadangkala sebagian single parent, merasa stress dengan beragam pekerjaan yang menumpuk di kantor ditambah lagi dengan kerumitan permasalahan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan anak yang rewel. Kondisi tersebut seringkali menyebabkannya berpersepsi negatif (menganggap anak ini nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi negative lainnya) terhadap anak yang dapat menyebabkannya melakukan perbuatan kasar terhadap anak (seperti mencubit, memukul, memarahi, dll). Tanpa kita sadari persepsi negatif mampu memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan anak serta kepribadian anak pada masa dewasanya.

Persepsi mengarahkan tindakan kita. Tindakan kita akhirnya memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya konsep diri anak terbentuk.

Berdasarkan ilustrasi diatas, jelaslah bahwa peranan orang tua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita sebagai single parent haruslah selalu menjaga persepsi positif pada anak jika ingin memiliki anak yang berkualitas.

Single parent saat ini telah banyak dijumpai pada berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Sebagai single parent, harus mampu mengkombinasikan peran ganda yang harus dijalankannya, terutama dalam menjalankan tugas utamanya, yakni membentuk anak yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ia harus melakukan manajemen sumberdaya keluarga yang terencana dan dilaksanakan secara konsisten. Manajemen sumberdaya keluarga tersebut sangat penting untuk dilaksanakan agar semua kebutuhan anak dapat terpenuhi yang pada akhirnya padat membentuk anak yang berkualitas. Berikut ini adalah beberapa tips yang berguna bagi orang tua single parent dalam membesarkan anak-anaknya.

Tips untuk Orang Tua sebagai Single Parent

1. Tunjukkan kasih sayang. Setiap hari, katakan padanya, “Ibu/Ayah sayang kamu, kamu buah hatiku”. Beri ia banyak sentuhan dan ciuman.

2. Dengarkan ketika anak-anak bercerita. Beri pula komentar dan dengar kembali apa reaksi mereka.

3. Ciptakan rasa aman. Lindungi mereka jika mereka merasa takut. Perlihatkan bagaimana Anda selalu berusaha melindungi mereka.

4. Sediakan semua kebutuhannya. Buat jadwal makan, tidur, main, Jika Anda mengubah jadwal, katakan padanya.

5. Puji. Ketika mereka belajar sesuatu yang baru atau berperilaku baik, katakan padanya, Anda bangga padanya.

6. Kritik perilaku yang salah, bukan anaknya. Jika anak berbuat kesalahan, jangan katakan, “Kamu salah!” Sebaliknya, jelaskan padanya, kesalahan yang telah dilakukannya. Misalnya; “Berlari ke jalan raya tanpa melihat kiri-kanan, sangat berbahaya, lo. Jadi, harus tengok kanan-kiri dulu.” Ini jauh lebih baik dan bijaksana dibanding Anda mengatakan, “Kamu ini bagaimana, sih? Kok, main nyelonong saja!”

7. Konsisten. Aturan Anda tidak harus sama dengan aturan di keluarga lain. Yang pasti, harus selalu jelas dan konsisten. Konsisten berarti aturan mainnya sama setiap waktu. Jika kedua orang tua membesarkan anak, keduanya harus menggunakan aturan yang sama. Juga pembantu, saudara, harus mengikuti dan mengetahui aturan yang Anda buat bersama.

8. Lewatkan waktu bersama anak. Pergi atau main bersama, membersihkan rumah bersama. Pendek kata, selalu libatkan anak. Yang di-butuhkan anak adalah perhatian. Jika ia bertingkah laku buruk, biasanya berarti ia mencari perhatian Anda.

II.4. Pengaruh Single Parent terhadap Seks Dini

Remaja yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah cenderung melakukan seks dini, demikian menurut para peneliti di Amerika. Para peneliti bahkan mengatakan faktor genetik sangat berpengaruh. Pendidikan seks di usia dini adalah satu cara untuk menghindarinya.
Dalam Journal Child Development disebutkan beberapa teori yang mengaitkan antara ketidakhadiran ayah dengan seks dini. Hal itu dikarenakan seorang anak akan cenderung mengalami stres dan tidak stabil ketika orang tuanya tidak utuh. Hal itu kemudian memicunya untuk tumbuh dan berbagi masalah dengan pasangan ketimbang orangtuanya.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa remaja yang dibesarkan oleh ibunya terbiasa melihat perilaku seks sang ibu dengan pasangannya di luar nikah, dan hal itu menjadi contoh yang kemungkinan dipraktikkan si anak. Dengan kata lain, sepasang orang tua akan lebih baik dalam memonitor kehidupan seks remaja dibanding single parent.
Peneliti dari University of Oregon membandingkan kehidupan seks 1.000 remaja berusia 14 tahun yang dibesarkan tanpa ayah, sedikit mendapat perhatian ayah dan yang banyak mendapat perhatian dan kasih sayang ayah.
Berdasarkan American National Longitudinal Survey of Youth, sebanyak 63,2 persen remaja yang dibesarkan tanpa ayah mengaku pernah melakukan seks, sedangkan mereka yang mendapat perhatian minim dari ayah dilaporkan sebanyak 52,5 persen. Adapun remaja yang dibesarkan dengan penuh perhatian oleh ayahnya hanya sekitar 21 persen.
Seorang profesor psikologi asal University of Oregon mengatakan bahwa hubungan antara ketidakhadiran ayah dengan seks anak bisa dijelaskan sebagai faktor genetik. Pengaruh lingkungan mungkin juga, tapi faktor genetik lebih dominan menurutnya.Maksud genetik dalam kasus ini bukan berarti adanya 'gen seks dini' yang diturunkan dari ayah atau ibu, tapi lebih berupa kontribusi sifat dan perilaku ibu dan ayah yang menyimpang yang menyebabkan anak melakukan seks dini.
Selama ini yang kita tahu, penyebab remaja melakukan seks dini adalah pendidikan rendah, teman dan pergaulan bebas, media dan internet serta status sosial ekonomi. Tapi ternyata ketidakhadiran ayah dalam keluarga juga bisa memicu hal tersebut. Pendidikan seks yang tepat adalah cara yang efektif untuk mencegahnya

II.5. Beberapa Testimonial Remaja tentang Single Parent


"Anak yang harus hidup dengan hanya satu orangtua pasti merasakan beban yang berat loh. Apalagi kalau anak itu melihat kehidupan teman-temannya yang lain yang masih punya ortu lengkap. Ya pasti sedihlah," komen Ninda, cewek berjilbab yang saat ini duduk di bangku kelas XI-IPA SMA Nasional, saat dihubungi, belum lama ini.
Ninda juga mengaku punya teman yang sejak beberapa tahun lalu harus hidup jauh dari sang ibu yang dicerai ayahnya. "Dia jadi murung sejak saat itu. Kegiatan sehari-harinya hanya melamun. Itu artinya dia sangat terbebani. Broken home gitu. Dan saya tahu dia pasti sangat berharap keluarganya bisa bersatu kembali," kata cewek hobi mengoleksi jepitan rambut ini.


Namun ternyata, itu tidak dialami semua anak yang punya nasib serupa loh. Ridha misalnya. Lulusan SMAN 1 Bantimurung yang sudah lama tidak pernah bertemu ayahnya ini mengaku cukup bisa menerima keadaan tersebut. Dia tetap merasa bahagia walau hanya berdua dengan sang ibu.
"Memang sih terkadang sedih juga kalau melihat teman-teman begitu dekat sama ayah mereka. Tapi itu hanya sesaat kok. Lagian, saya sudah terbiasa dengan keadaan yang begini. Mental saya sudah tangguh," kata cewek yang hobi menulis ini.


Anha, siswi kelas XI SMAN 5 Makassar punya pendapat dari sisi yang lain. Menurut cewek berkacamata ini, anak yang ortunya single parent tidak melulu harus merasa "sial" dan berpikir negatif. "Segala sesuatu pasti ada sisi baik dan juga buruknya," ucapnya.
Apa itu? "Yah, anak itu pasti akan lebih dekat dengan ibu atau ayahnya. Soalnya kan hubungan batin di antara mereka akan lebih kuat lagi karena banyak menghabiskan waktu bersama. Jadi dibawa ke pikiran yang positif ajalah. Jangan malah down dan memberi sugesti buruk pada diri sendiri. Yakin kamu mampu," pungkasnya.

BAB III

KESIMPULAN

Orang tua adalah sosok yang paling berperan dalam perkembangan mental remaja. Jadi, walaupun seorang anak itu diasuh oleh seorang ayah atau ibu saja, asalkan cara mengasuhnya tepat, maka anak itu akan menjadi remaja yang normal. Kesalahan dalam mengasuh anak seperti kurang memberi perhatian akibat tidak dapat membagi waktu atau terlalu memberikan kebebasan pada anak inilah yang dapat menyebabkan mental anak terganggu. Anak dapat mengalami ketertekanan sehingga mencari pelarian yang salah, misalnya narkoba, bunuh diri, dll.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sosok single parent adalah pemberian kasih saying kepada anak, dapat membagi waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, melakukan tugas sebagai ayah dan ibu sebaik-baiknya, menerapkan disiplin pada anak, dan yang terpenting adalah komunikasi.

Komunikasi membuat anak mengerti keadaannya sehingga dia tidak cemburu atau sedih melihat teman-temannya yang memiliki ayah dan ibu. Kecemburuan atau kesedihan ini dapat membuat anak menjadi depresi. Peran guru dan sekolah pun penting dalam hal ini agar anak-anak single parent ini dapat perhatian khusus tetapi tidak secara berlebihan karena dapat membuat mereka menjadi tidak nyaman sehingga tercipta rasa malu.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga

Hendriati, Agustiani (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Revika Aditama

Monks, F.J. & Knoers, A.M.P. (1999). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univertsity Press

Mubin & Cahyadi, A. (2006). Psikologi Perkembangan. Ciputat: Quantum Teaching

http://forumbebas.com/thread-79706.html

http://keker.fajar.co.id/komentar.php?idkekerkomentar=10937

http://okvina.wordpress.com/2008/01/05/wanita-sebagai-single-parent-dalam-membentuk-anak-yang-berkualitas/