Jumat, 09 Oktober 2009

PERKEMBANGAN MENTAL REMAJA YANG TINGGAL DENGAN SINGLE PARENT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Pengantar

Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent. Berdasarkan data tersebut dapat diberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent.

Menurut Deacon dan Firebough (1988) ada beberapa faktor yang mempengaruhi status single parent. Faktor-faktor tersebut antara lain: kehamilan sebelum menikah, kematian suami atau istri, perpisahan atau perceraian dan adopsi. Data di Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dalam kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta yang terjadi di Inggris tersebut akan menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini dikarenakan, di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, seseorang yang berstatus sebagai single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk anak yang berkualitas. Bukan hal yang mudah menjalankan dua peran tersebut sekaligus dalam membentuk anak yang berkualitas. Oleh sebab itu dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi keluarga single parent pun sama berkualitasnya dengan anak yang dibasarkan pada keluarga utuh.

Ada kemungkinan akan terjadi gangguan atau kelainan perkembangan mental pada remaja yang tinggal dengan single parent. Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai hal ini dan segala pengertian remaja serta single parent.

I.2. Masa Remaja

Masa remaja merupakan suatu masa yang sangat menentukan karena pada masa ini seseorang banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Terjadinya banyak perubahan-perubahan tersebut sering menimbulkan kebingungan-kebingungan atau goncangan-goncangan jiwa remaja sehingga ada orang yang menyebutnya sebagai periode pubertas.

Mereka bingung karena pikiran dan emosinya berjuang untuk menemukan diri, memahami dan menyeleksi serta melaksanakan nilai-nilai yang ditemui di masyarakanya, disamping perasaan ingin bebas dari segala ikatan. Tepatlah jika sebagian ahli menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan.

Di lain pihak Hurlock menyebutnya dengan dua istilah terpisah tapi berdekatan, yaitu puberty dan adolescence.Menurutnya : puberty is the period in the developmental span when the child changes from an asexual to a sexual being (Hurlock, 1980: 179)”. Sedangkan adolescence adalah The term adolescence comes from the Latin word “adolescence”, meaning “to grow, or to grow maturity. …. As it is used today, the term “adolescence” has a broader meaning it includes mental, emotional, and social maturity as well as physical maturity. (Hurlock,1980: 222)

Memang masa remaja tidak seluruhnya berada dalam kegoncangan, tapi pada bagian akhir dari masa ini kebanyakan individu sudah berada dalam kondisi yang stabil (apa yang disebut Hurlock dengan adolescence).

Ciri pertama bahwa seseorang itu memasuki masa remaja adalah terjadinya menstruasi pertama pada perempuan dan mimpi basah pertama kalinya pada laki-laki.

I.2.1. Pembagian Fase Remaja

Secara teoritis rentangan usia remaja itu dibagi dalam beberapa fase. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat, diakarenakan sulitnya membagi batas yang pasti. Akibatnya tidak jarang terjadi adanya batas usia yang saling tumpang tindih antara satu fase dengan fase lainnya. Walaupun demikian, pembagian itu tetap perlu karena dari keseluruhan masa remaja kenyataannya terdapat perbedaan-perbedaan tingkah laku akibat berbedanya usia mereka.

Hurlock membagi masa remaja menjadi dua fase, dan masing-masing fase dibaginya ke dalam sub-sub, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Puberty; yang terbagi lagi kepada:

a. Fase prebubescent: sejak tahun terakhir anak – anak.

b. Fase pubescent: pemisahan antara anak dengan adolescence (kematangan seksual).

c. Fase post-pubescent: sejak akhir pubescent s/d 1 – 2 tahun masuk ke dalam fase adolescence.

2. Adolescence; dibagi dua menjadi:

a. Early adolescence: dari usia 13 – 16 atau 17 tahun.

b. Late adolescence: 17 tahun ke atas sampai tercapainya kematangan secara hukum.

Kemudian Hurlock membagi fase-fase perkembangan remaja menjadi tiga fase yaitu : “remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir”.

I.2.2. Beberapa Perkembangan dalam Masa Remaja

1. Fase Pra-Remaja

a. Perkembangan segi fisik/seksualitas :

o Pertumbuhan badan sangat cepat. Wanita tampak lebih cepat dari laki-laki sehingga dapat menyebabkan seks antagonism.

o Pertumbuhan anggota badan dan otot-otot sering berjalan tak seimbang sehingga menimbulkan kecanggungan.

o Seks primer dan skunder mulai berfungsi dan produktif, ditandai dengan mimpi basah pertama pada laki-laki dan menstruasi pertama pada wanita.

b. Perkembangan segi psikis

Keadaan psikis pra-remaja umunya berada pada sifatnya yang negative atau sturm und drang. Sifat itu adalah :

o Perasaan tak tenang

o Kurang suka bergerak atau bekerja (malas)

o Suasana hati tidak tetap atau murung

o Cepat lelah dalam bekerja

o Kebutuhan untuk tidur sangat besar

o Mempunyai sifat social yang negative

2. Fase Remaja

a. Perkembangan fisik/seksualitas :

o Bentuk badan lebih banyak memanjang daripada melebar, terutama bagian badan, kaki dan tangan.

o Akibat berproduksinya kelenjar hormone, maka jerawat sering timbul di bagian muka.

o Timbulnya dorongan-dorongan seksual terhadap lawan jenis, akibat matangnya kelenjar seks (gonad).

b. Perkembangan psikis :

o Merindu puja

o Tingkat berpikir berada dalam stadium operasional formal (verbal, logic)

o Mempunyai sikap social yang positif, suka bergaul dan membentuk kelompok-kelompok seusia

o Mencari kebebasan dan berusaha menemukan konsep diri (self-concept)

o Terjadinya proses seleksi nilai-nilai moral dan social

o Sikap terhadap agama turut-turutan, dan kepercayaan terhadap Tuhan selalu berubah-ubah akibat kegoncangan jiwanya.

3. Fase Adolescence (akhir masa remaja)

a. Perkembangan fisik:

o Pertumbuhan badan merupakan batas optimal, kecuali pertambahan berat badan.

o Keadaan badan dan anggota-anggotanya menjadi berimbang, muka berubah menjadi simetris sebagaimana layaknya orang dewasa.

b. Perkembangan psikis:

o Kemampuan berfikir operasional formal tampaknya mencapai kematangan, sehingga mampu menyusun rencana-rencana, menyusun alternative dan menentukan pilihan dalam hidup dan kehidupannya.

o Sikap dan perasaan relative stabil, inilah yang paling mencolok perbedaannya dengan fase praremaja/remaja.

o Kalau dilihat dari segi perkembangan pribadi, social dan moral, maka fase adolescence berada dalam periode krisis. Karena mereka berada di ambang pintu kedewasaan. Kematangan konsep diri, penerimaan dan penghargaan social oleh orang dewasa sekitarnya serta keharusan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada pada kelompok orang dewasa menjadi tanda Tanya besar bagi mereka, apakah dia sudah mampu menjadi orang dewasa dengan segala tugas dan tanggung jawabnya.

c. Perkembangan Pemahaman tentang Agama

Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah kerangkan moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Manajemen Keluarga pada Keluarga Berstatus Single Parent

Orang tua sebagai single parent harus menjalankan peran ganda untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Sebagai single parent, harus mampu mengkombinasikan dengan baik antara pekerjaan domestik dan publik. Dalam hal ini, kematangan fisik dan psikologis merupakan faktor yang sangat vital dibutuhkan untuk melakukan manajemen keluarga.

Seseorang yang berstatus single parent dimana ia harus mencari uang untuk menafkahi keluarganya dan juga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang keluarganya harus melakukan perencanaan yang matang dalam pengorganisasian kegiatanya menjalankan peran ganda. Dalam melakukan perencanaan tersebut, ia harus mengkomunikasikan rencana yang telah ia buat pada keluarga terdekatnya (orang tua, paman atau bibi), terutama yang akan dimintai bantuan nantinya.

Setelah dilakukan perencanaan, maka ia harus melaksanakan rencana yang telah ia buat. Apabila diperlukan, maka ia bisa juga meminta bantuan pada keluarga terdekatnya untuk membantu kegiatan keluarganya selama ia diluar rumah untuk mencari nafkah, tentunya ia harus mengkomunikasikan hal ini sebelumnya dengan orang yang bersangkutan.

Hal terakhir yang harus dilakukan dalam memanajemen keluarga yang berstatus single parent adalah dengan mengevaluasi semua kegiatan yang telah berlangsung di keluarga. Evaluasi diperlukan untuk meninjau apakah kegiatan keluarga yang telah berlangsung, terutama yang dihandle oleh anggota keluarga yang lain sesuai dengan harapannya atau tidak. Disamping itu, evaluasi juga dibutuhkan membenahi perencanaan keluarga selanjutnya.

II.2. Kematangan sebagai Single Parent

Seperti yang telah disebutkan pada sebelumnya bahwa keluarga yang berstatus single parent disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang ada itu mempengaruhi kematangan sebagai seorang single parent. Kematangan dalam segi fisik dan terutama psikologis menjadi faktor yang utama yang dibutuhkan untuk keberhasilan sebagai single parent dalam membesarkan anaknya. Wanita sebagai single parent yang sangat riskan dalam membesarkan anaknya adalah disebabkan oleh kehamilan sebelum menikah, karena sebagian besar kehamilan sebelum menikah terjadi pada remaja. Remaja belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjadi single parent. Pada kasus ini dibutuhkan dukungan yang lebih besar dari keluarganya untuk menyiapkannya menjadi seorang single parent. Pada kasus lain yang menyebabkan wanita menjadi single parent (perpisahan atau perceraian, kematian suami atau istri, dan adopsi), dirasa tidak terlalu bermasalah pada kematangan wanita tersebut (terutama alasan adopsi karena ada keinginan internal dari wanita untuk memiliki dan membesarkan anak, artinya ia telah benar-benar siap dengan segala konsekuensi sebagai single parent) karena pada kondisi itu wanita dinggap telah dewasa dan telah mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tetap membutuhkan jangka waktu tertentu untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru.

Kematangan seseorang yang berstatus sebagai single parent merupakan hal yang utama dibutuhkan dalam mebesarkan serta mendidik anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan, kematangan pada seseorang sebagai single parent dapat mempengaruhi caranya dalam memanajemen diri dan keluarganya, terutama dalam membentuk anak yang berkualitas.

II.3. Manajemen Seseorang sebagai Single Parent dalam Membentuk Anak yang Berkualitas

Membentuk anak yang berkualitas merupakan tugas dari semua orang tua, begitu pula dengan single parent. Akan tetapi, ada beberapa hal khusus yang harus dilakukan oleh single parent agar anaknya berkembang sama seperti anak-anak pada keluarga lengkap. Hal tersebut antara lain sebagai berikut:

- Pengganti Figur Orang Tua yang Hilang

Sebagai single parent harus mampu menjadi ibu bagi anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan anaknya akan figure seorang ayah. Menjalankan dua peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Senada dengan yang diungkapkan oleh Elly Risman, Psi “Sudah suratan takdir laki-laki tak akan dapat menjadi ibu seutuhnya, begitu juga ibu tak dapat sepenuhnya mengisi peran ayah”. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa dalam kasus single parent, wajib hukumnya bagi ayah atau ibu yang menjadi orang tua tunggal untuk tetap menghadirkan sosok ayah atau ibu yang tidak ada selama membesarkan anak-anaknya. Mengenai siapa yang dapat dihadirkan sebagai pengganti salah satu orang tua yang tidak ada, menurut Elly, dapat merupakan keluarga terdekat, seperti paman-bibi, kakek-nenek. Pokoknya kerabat sedarah yang tidak mengizinkan adanya pertalian nikah. Tak mesti sosok pengganti salah satu orang tua ini berada bersama anak setiap saat. “Cukup selama dua tiga hari atau saat melakukan kegiatan tertentu, seperti belanja ke pasar atau mal bersama nenek dan bibi, sedangkan pergi ke bengkel atau berolahraga dengan paman.” Dengan demikian apa yang tidak didapatkan anak dari salah satu orang tua tetap dapat terpenuhi. “Oh, kita harus bersikap begini rupanya kalau jadi laki-laki,” atau, “Seperti ini rupanya dunia perempuan.”

- Alokasi Waktu yang Efektif

Menjadi single parent sebetulnya mempunyai sisi baik dari segi keleluasaan waktu yang dimiliki. Ibu/Ayah, hanya berperan membesarkan anak, tidak ada Suami/Istri yang harus dilayani dan dimanja-manja. Dengan demikian seorang single parent memiliki kelebihan waktu.

Sebagai single parent yang menjalankan peran pribadi dan publiknya secara bersamaan harus memiliki manajemen waktu yang efektif. Apabila ia berada di tempat kerja, maka ia harus mengkonsentrasikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, dan sebaliknya, apabila ia telah berada di rumah, maka ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya terutama pada anak-anaknya. Ia harus menemani anaknya makan, belajar, ataupun membacakan dongeng sebelum tidur.

- Komunikasi dengan Anak Harus Selalu Dijaga

Manusia sanggup mencintai dan dicintai, ini adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, dan penerimaan orang lain amat dibutuhkan manusia. Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku anak yang kurang baik. Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Maka orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian. Orang tua mendengarkan cerita anak, dan sebaliknya orang tua juga menceritakan apa yang sedang dia alami. Jadikan anak sebagai sahabat, agar masing-masing pihak saling mengerti dan memahami situasi yang dialami.

- Menerapkan Disiplin

Penerapan disiplin pada keluarga single parent menjadi lebih mudah dilaksanakan karena hanya ada satu sumber komando dari Ibu atau Ayah saja. Pada kasus wanita sebagai single parent, anak akan mendapatkan disiplin dari ibunya saja. Akan lebih mudah untuk mengerti disiplin yang ditetapkan di keluarganya. Yang perlu diperhatikan adalah, ibu harus menerapkan disiplin yang ada dengan tegas sekaligus penuh kasih sayang. Selain itu, ibu perlu mengkomunikasikan disiplin yang berlaku pada anggota keluarga lain yang membantunya menggantikan figur seorang ayah bagi anaknya.

- Menjaga Hubungan Interpersonal dengan Anak

Dalam keluarga single parent, hubungan interpersonal antara orang tua dengan anak sangatlah penting untuk dijaga. Menjaga hubungan interpersonal dengan anak dapat dilakukan dengan menjaga komunikasi serta meluangkan waktu khusus bersama anak. Hubungan antara anak dengan orang tua menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan anak berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas Oleh karena itu, hubungan yang terjalin dengan baik antara orang tua dengan anak menentukan keberhasilan anak dalam menjalin hubungan secara interpersonal dengan orang lain.

- Persepsi Positif Terhadap Anak

Kadangkala sebagian single parent, merasa stress dengan beragam pekerjaan yang menumpuk di kantor ditambah lagi dengan kerumitan permasalahan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan anak yang rewel. Kondisi tersebut seringkali menyebabkannya berpersepsi negatif (menganggap anak ini nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi negative lainnya) terhadap anak yang dapat menyebabkannya melakukan perbuatan kasar terhadap anak (seperti mencubit, memukul, memarahi, dll). Tanpa kita sadari persepsi negatif mampu memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan anak serta kepribadian anak pada masa dewasanya.

Persepsi mengarahkan tindakan kita. Tindakan kita akhirnya memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya konsep diri anak terbentuk.

Berdasarkan ilustrasi diatas, jelaslah bahwa peranan orang tua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita sebagai single parent haruslah selalu menjaga persepsi positif pada anak jika ingin memiliki anak yang berkualitas.

Single parent saat ini telah banyak dijumpai pada berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Sebagai single parent, harus mampu mengkombinasikan peran ganda yang harus dijalankannya, terutama dalam menjalankan tugas utamanya, yakni membentuk anak yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ia harus melakukan manajemen sumberdaya keluarga yang terencana dan dilaksanakan secara konsisten. Manajemen sumberdaya keluarga tersebut sangat penting untuk dilaksanakan agar semua kebutuhan anak dapat terpenuhi yang pada akhirnya padat membentuk anak yang berkualitas. Berikut ini adalah beberapa tips yang berguna bagi orang tua single parent dalam membesarkan anak-anaknya.

Tips untuk Orang Tua sebagai Single Parent

1. Tunjukkan kasih sayang. Setiap hari, katakan padanya, “Ibu/Ayah sayang kamu, kamu buah hatiku”. Beri ia banyak sentuhan dan ciuman.

2. Dengarkan ketika anak-anak bercerita. Beri pula komentar dan dengar kembali apa reaksi mereka.

3. Ciptakan rasa aman. Lindungi mereka jika mereka merasa takut. Perlihatkan bagaimana Anda selalu berusaha melindungi mereka.

4. Sediakan semua kebutuhannya. Buat jadwal makan, tidur, main, Jika Anda mengubah jadwal, katakan padanya.

5. Puji. Ketika mereka belajar sesuatu yang baru atau berperilaku baik, katakan padanya, Anda bangga padanya.

6. Kritik perilaku yang salah, bukan anaknya. Jika anak berbuat kesalahan, jangan katakan, “Kamu salah!” Sebaliknya, jelaskan padanya, kesalahan yang telah dilakukannya. Misalnya; “Berlari ke jalan raya tanpa melihat kiri-kanan, sangat berbahaya, lo. Jadi, harus tengok kanan-kiri dulu.” Ini jauh lebih baik dan bijaksana dibanding Anda mengatakan, “Kamu ini bagaimana, sih? Kok, main nyelonong saja!”

7. Konsisten. Aturan Anda tidak harus sama dengan aturan di keluarga lain. Yang pasti, harus selalu jelas dan konsisten. Konsisten berarti aturan mainnya sama setiap waktu. Jika kedua orang tua membesarkan anak, keduanya harus menggunakan aturan yang sama. Juga pembantu, saudara, harus mengikuti dan mengetahui aturan yang Anda buat bersama.

8. Lewatkan waktu bersama anak. Pergi atau main bersama, membersihkan rumah bersama. Pendek kata, selalu libatkan anak. Yang di-butuhkan anak adalah perhatian. Jika ia bertingkah laku buruk, biasanya berarti ia mencari perhatian Anda.

II.4. Pengaruh Single Parent terhadap Seks Dini

Remaja yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah cenderung melakukan seks dini, demikian menurut para peneliti di Amerika. Para peneliti bahkan mengatakan faktor genetik sangat berpengaruh. Pendidikan seks di usia dini adalah satu cara untuk menghindarinya.
Dalam Journal Child Development disebutkan beberapa teori yang mengaitkan antara ketidakhadiran ayah dengan seks dini. Hal itu dikarenakan seorang anak akan cenderung mengalami stres dan tidak stabil ketika orang tuanya tidak utuh. Hal itu kemudian memicunya untuk tumbuh dan berbagi masalah dengan pasangan ketimbang orangtuanya.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa remaja yang dibesarkan oleh ibunya terbiasa melihat perilaku seks sang ibu dengan pasangannya di luar nikah, dan hal itu menjadi contoh yang kemungkinan dipraktikkan si anak. Dengan kata lain, sepasang orang tua akan lebih baik dalam memonitor kehidupan seks remaja dibanding single parent.
Peneliti dari University of Oregon membandingkan kehidupan seks 1.000 remaja berusia 14 tahun yang dibesarkan tanpa ayah, sedikit mendapat perhatian ayah dan yang banyak mendapat perhatian dan kasih sayang ayah.
Berdasarkan American National Longitudinal Survey of Youth, sebanyak 63,2 persen remaja yang dibesarkan tanpa ayah mengaku pernah melakukan seks, sedangkan mereka yang mendapat perhatian minim dari ayah dilaporkan sebanyak 52,5 persen. Adapun remaja yang dibesarkan dengan penuh perhatian oleh ayahnya hanya sekitar 21 persen.
Seorang profesor psikologi asal University of Oregon mengatakan bahwa hubungan antara ketidakhadiran ayah dengan seks anak bisa dijelaskan sebagai faktor genetik. Pengaruh lingkungan mungkin juga, tapi faktor genetik lebih dominan menurutnya.Maksud genetik dalam kasus ini bukan berarti adanya 'gen seks dini' yang diturunkan dari ayah atau ibu, tapi lebih berupa kontribusi sifat dan perilaku ibu dan ayah yang menyimpang yang menyebabkan anak melakukan seks dini.
Selama ini yang kita tahu, penyebab remaja melakukan seks dini adalah pendidikan rendah, teman dan pergaulan bebas, media dan internet serta status sosial ekonomi. Tapi ternyata ketidakhadiran ayah dalam keluarga juga bisa memicu hal tersebut. Pendidikan seks yang tepat adalah cara yang efektif untuk mencegahnya

II.5. Beberapa Testimonial Remaja tentang Single Parent


"Anak yang harus hidup dengan hanya satu orangtua pasti merasakan beban yang berat loh. Apalagi kalau anak itu melihat kehidupan teman-temannya yang lain yang masih punya ortu lengkap. Ya pasti sedihlah," komen Ninda, cewek berjilbab yang saat ini duduk di bangku kelas XI-IPA SMA Nasional, saat dihubungi, belum lama ini.
Ninda juga mengaku punya teman yang sejak beberapa tahun lalu harus hidup jauh dari sang ibu yang dicerai ayahnya. "Dia jadi murung sejak saat itu. Kegiatan sehari-harinya hanya melamun. Itu artinya dia sangat terbebani. Broken home gitu. Dan saya tahu dia pasti sangat berharap keluarganya bisa bersatu kembali," kata cewek hobi mengoleksi jepitan rambut ini.


Namun ternyata, itu tidak dialami semua anak yang punya nasib serupa loh. Ridha misalnya. Lulusan SMAN 1 Bantimurung yang sudah lama tidak pernah bertemu ayahnya ini mengaku cukup bisa menerima keadaan tersebut. Dia tetap merasa bahagia walau hanya berdua dengan sang ibu.
"Memang sih terkadang sedih juga kalau melihat teman-teman begitu dekat sama ayah mereka. Tapi itu hanya sesaat kok. Lagian, saya sudah terbiasa dengan keadaan yang begini. Mental saya sudah tangguh," kata cewek yang hobi menulis ini.


Anha, siswi kelas XI SMAN 5 Makassar punya pendapat dari sisi yang lain. Menurut cewek berkacamata ini, anak yang ortunya single parent tidak melulu harus merasa "sial" dan berpikir negatif. "Segala sesuatu pasti ada sisi baik dan juga buruknya," ucapnya.
Apa itu? "Yah, anak itu pasti akan lebih dekat dengan ibu atau ayahnya. Soalnya kan hubungan batin di antara mereka akan lebih kuat lagi karena banyak menghabiskan waktu bersama. Jadi dibawa ke pikiran yang positif ajalah. Jangan malah down dan memberi sugesti buruk pada diri sendiri. Yakin kamu mampu," pungkasnya.

BAB III

KESIMPULAN

Orang tua adalah sosok yang paling berperan dalam perkembangan mental remaja. Jadi, walaupun seorang anak itu diasuh oleh seorang ayah atau ibu saja, asalkan cara mengasuhnya tepat, maka anak itu akan menjadi remaja yang normal. Kesalahan dalam mengasuh anak seperti kurang memberi perhatian akibat tidak dapat membagi waktu atau terlalu memberikan kebebasan pada anak inilah yang dapat menyebabkan mental anak terganggu. Anak dapat mengalami ketertekanan sehingga mencari pelarian yang salah, misalnya narkoba, bunuh diri, dll.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sosok single parent adalah pemberian kasih saying kepada anak, dapat membagi waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, melakukan tugas sebagai ayah dan ibu sebaik-baiknya, menerapkan disiplin pada anak, dan yang terpenting adalah komunikasi.

Komunikasi membuat anak mengerti keadaannya sehingga dia tidak cemburu atau sedih melihat teman-temannya yang memiliki ayah dan ibu. Kecemburuan atau kesedihan ini dapat membuat anak menjadi depresi. Peran guru dan sekolah pun penting dalam hal ini agar anak-anak single parent ini dapat perhatian khusus tetapi tidak secara berlebihan karena dapat membuat mereka menjadi tidak nyaman sehingga tercipta rasa malu.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga

Hendriati, Agustiani (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Revika Aditama

Monks, F.J. & Knoers, A.M.P. (1999). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univertsity Press

Mubin & Cahyadi, A. (2006). Psikologi Perkembangan. Ciputat: Quantum Teaching

http://forumbebas.com/thread-79706.html

http://keker.fajar.co.id/komentar.php?idkekerkomentar=10937

http://okvina.wordpress.com/2008/01/05/wanita-sebagai-single-parent-dalam-membentuk-anak-yang-berkualitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar